Rabu, 02 Mei 2012


CONTOH TANGGUNG JAWAB

Tanggung Jawab Dalam Pendidikan
(Bagaimana Menanamkan Tanggung Jawab Pada Anak)

“Didiklah anak-anakmu, sebab mereka akan mengalami zaman yang berbeda dengan zaman kamu”
- (hadits) –

Mengapa Pendidikan Penting?
Pendidikan menjadi kata kunci di dalam pembentukan diri seseorang. Semenjak Fraire berikrar bahwa pendidikan adalah tak lain sebagai rangkaian dari proses Humanisasi, ketiadaanya merupakan hal yang mesti dihindari di dalam membentuk pola masyarakat yang dinamis dan bermental kuat disamping bermoral terpuji. 
Bermula dari bentuk sederhana proses mendidik pada bangsa Yunani kuno, lambat laun ketika struktur masyarakat menjurus pada arah yang lebih kompleks, kehadiran pendidikan melalui wajah ‘institusi’ menjadi keniscayaan. Kehadiran institusi yang diharapkan mampu menggantikan posisi ayah dan ibu – membimbing, merawat dan mendidik anak – tak dapat dilepaskan dari pentingnya makna pendidikan itu sendiri. Penggantian posisi orang tua dalam mendidik anak, dimafhumi sebagai proses sosial yang memiliki dinamika untuk bergerak. Wujud sekolah sebagaimana yang kita kenal saat ini merupakan bentuk institusi yang dahulunya bernama scolae pada bangsa Yunani.

Akan tetapi, yang perlu menjadi perhatian disini, adalah proses perubahan peran tersebut di dalam cakupannya yang lebih luas. Di satu sisi, perubahan peran disebabkan oleh suatu proses sosial, orang tua yang lebih disibukkan oleh aktifitas di luar rumah dalam mencari nafkah keluarga dibanding dengan kesediaan waktunya untuk menemani anaknya, di sisi lain perubahan ini pula menjadi dasar bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah segala-galanya. Dengan demikian kita melihat bagaimana bangsa Yunani mendudukan pendidikan dalam kaca mata yang luhur, artinya proses pendidikan sedapat mungkin harus dilakukan oleh orang tua semenjak dini kepada anak-anaknya.
Sementara itu, jika peran sosial lebih menuntut orang tua untuk berkiprah diluar, maka hendaknya proses mendidik anak tidak menjadi terbengkalai. Inipun dengan catatan, bahwa pergantian peran tersebut hanya sebatas mengisi kekosongan kecil yang ditinggalkan oleh orang tua bagi anak-anaknya. Sedangkan porsi terbesarnya tetap dipegang oleh orang tua sebagai pihak yang sangat vital dalam perkembangan anak.

“Proses” Dalam Tanggung Jawab
Setiap proses tentunya terikat oleh ruang dan waktu. Ruang di sini adalah kondisi dimana terjadi, penciptaan proses, bentuk proses, cara berproses, dan apa yang diharapkan dari proses itu sendiri. Maksudnya setiap proses yang ada melibatkan hal-hal diatas, sehingga proses yang berjalan dilalui secara objektif, dalam artian memasuki wilayah yang rasional, sebagai bentuk lain dari hubungan kausalitas – sebab dan akibat. Keterikatan proses dengan waktu juga nampak jelas, sebab proses pada akhirnya akan menuju pada cita-cita ideal sebagaimana ketika proses itu diciptakan. Artinya, suatu saat proses tersebut akan berhenti, sebagai tuntutan dari pertanyaan mengenai berhasil atau tidaknya proses yang dijalani. Sehingga jika proses tersebut dinilai kurang, maka akan menjadi bahan evaluasi yang harus dilakukan sesegera mungkin.
Kaitannya dengan tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab, sebagaimana hal ini juga ingin kita tujukan kepada diri kita sendiri disamping kepada anak-anak, tentunya terjadi jika melalui suatu proses tertentu. Proses disini adalah sebuah peristiwa yang tercipta lewat upaya sadar dengan tujuan keinginan menuai hasil secara baik dari misi yang kita tanamkan sebelumnya. Dan proses tersebut merupakan rangkaian yang saling berkaitan serta membutuhkan perjalanan yang cukup panjang. Akan tetapi, keikatan waktu pada akhirnya yang membatasinya, artinya perlu ada satu standar yang dapat dijadikan patokan untuk menilai hasil dari proses penanaman tanggung jawab selama proses tersebut berlangsung.

Pengertian Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S. Poerwadarminta adalah “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya” artinya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Tanggung jawab ini pula memiliki arti yang lebih jauh bila memakai imbuhan, contohnya ber-, bertanggung jawab dalam kamus tersebut diartikan dengan “suatu sikap seseorang yang secara sadar dan berani mau mengakui apa yang dilakukan, kemudian ia berani memikul segala resikonya”. Dalam artian lain, tanggung jawab meminjam istilahnya Bung Hatta adalah integritas individual.
Perlu menjadi perhatian utama, adalah bagaimana membentuk pola pikir anak agar pada suatu saatnya nanti mampu memiliki integritas – tanggung jawab – baik itu secara pribadi maupun dalam kehidupan kolektif, sebagaimana hal itu tercantum dalam definisi di atas. Dengan kata lain, tanggung jawab yang dimaksudkan disini adalah suatu investasi yang tak ternilai harganya, yang ditanamkan pada seorang anak demi masa depannya kelak. Dan penanaman tanggung jawab itu sendiri hanya dapat tercapai jika dijalani lewat proses pendidikan. Pendidikan disini bukanlah pendidikan sebagaimana pandangan konvensional yang mengatakan bahwa mendidik adalah urusan sekolah (institusi). Akan tetapi pendidikan yang saya maksudkan adalah pendidikan yang sebenar-benar pendidikan, yaitu pendidikan yang dilalui sepanjang hayat, yang dilakukan oleh orang tua semenjak kehadiran anak didunia, melalui transmisi kasih sayang, kepedulian, kepercayaan, emphati dan kesinambungan serta pengarahan secara spiritual.
Dengan demikian Humanisasi menjadi kenyataan, yaitu penciptaan iklim mendidik anak untuk menjadi manusia yang berbudi, memiliki jiwa, merdeka, mampu menghargai dirinya, dan mampu pula untuk memaknai akan makna penciptaannya didunia. Artinya pendidikan yang dimaksudkan disini tak lain merupakan suatu upaya memanusiakan manusia, dan tanggung jawab merupakan salah satu indikator keberhasilannya.

Memulai Dari Dalam Baru Keluar
Berbicara cara, maka kita memasuki wilayah epistemologis, tentang bagaimana sesuatu itu memiliki metode, cara dan bagaimana proses dari bentuk itu bekerja. Tanggung jawab yang menjadi indikator keberhasilan dari proses pendidikan disini, tentunya tak terlepas dari kesadaran kita untuk mencoba memaknai wilayah ontologisnya terlebih dahulu sebelum bermuara pada tataran aksiologisnya – bagaimana hasil atau manfaatnya?.

Dengan kesungguhan dan kerja keras dari orang tua dalam menanamkan terlebih memberikan contoh tanggung jawab, bukan tidak mungkin proses yang terikat pada waktu pada akhirnya bermuara pada kebahagiaan, baik itu kebahagiaan orang tuanya maupun anaknya sendiri. Ada beberapa contoh konsep yang patut diterapkan didalam memaknai dan mengimplementasikan bagaimana menanamkan tanggung jawab sekaligus bagaimana membuat model tanggung jawab itu sendiri bagi anak.
Pertama adalah memulai dari dalam – jadilah tindakan itu sendiri dan jangan jadi sasaran tindalan. Konsep ini dicetuskan oleh maestro 7 Habbits Of Highly Effective People. Maksudnya, adalah bahwa orang tua selaku komponen yang paling vital dalam hal ini, dituntut bertindak terlebih dahulu sebelum menuntut sesuatu dari anak. Memulai dari dalam sebelum keluar, adalah membersikan diri terlebih dahulu sebelum membersihkan hal yang berada diluar, menanamkan tanggung jawab, mengiklaskan hati, dan menjadikan model dirinya bagi anak-anaknya. Sebab menurut satu penelitian, bahwa kekuatan yang terpancar secara kuat dari dasar hati, akan memberikan energi positif, dalam hal ini kepada anak-anaknya. Contohnya adalah paradgima, jika paradigma orang tua berubah dari tidak percaya kepada anak, menjadi percaya dan mampu memberikan pengakuan bahwa seorang anak itu memiliki harga dalam hidup, maka niscaya anak tersebut akan ebrbuat sebagaimana paradigma tersebut. hal ini dibuktikan Covey kepada anaknya, dari semula berpandangan negatif menjadi energi positif berupa kepercayaan. Walhasil banyak hal spektakuler yang dilakukan anaknya (padahal konon anak tersebut sebelumnya memilki latar belakang sosial yang sangat miskin).
Kedua adalah mengubah konsep kebergantungan menuju kemandirian. Konsep ini secara implisit dipraktekan Rasul baik itu kepada anak-anaknya maupun kepada cucu-cucunya. Ketika Rasul beraktifitas dalam Da’wah kasih sayangnya selalu tercurah kepada cucu-cucu maupun kepada anaknya. Ia begitu menyayangi anak-anak, sampai-sampai Fathimah putrinya, selalu ia bela dan ia sanjung-sanjung di depan orang, demikian pula dengan Husein cucunya, bahkan ia selalu menggendongnya dalam sholat. Akan tetapi semua unsur kasih sayang tersebut, tidak membuat Rasul lupa, bahwa keadilan harus tetap menjadi pendidikan utama bagi perkembangan jiwa anak. Hal ini dibuktikannya ketika ia berkata, jika putriku sendiri yang mencuri maka akulah orang pertama yang akan memotong tangannya. Dari hal ini terpancar kearifan jiwa Rasul, ia begitu menyayangi anak-anak, dengan cara menanamkan mereka kemandirian bukan kemanjaan yang tak beralasan.

Oleh karena itu, investasi terbesar dari orang tua bagi mereka adalah kepercayaan, harga diri, tanggung jawab, respect, nilai-nilai budaya dan spiritual serta rasa memiliki diri sendiri. Ibarat busur, mereka adalah panah yang jauh melesat ke masa depan. Siapkan pendidikan yang tepat bagi mereka.

OPINI :
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari mereka anak-anak mula-mula menerima pendidikan. Corak pendidikan dalam rumah tangga secara umum tidak berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situsi atau iklim pendidikan.
Timbulnya iklim atau suasana tersebut, karena adanya interaksi yaitu hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Sebagai peletak pertama pendidikan, orang tua memegang peranan penting bagi pembentukan watak dan kepribadian anak, maksudnya bahwa watak dan kepribadian tergantung kepada pendidikan awal yang berasal dari orang tua terhadap anaknya.
Orang tua (ayah dan ibu) memegang peranan yang penting dan sangat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak anak lahir, ibu yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu seorang anak pada umumnya lebih cinta kepada ibu karena ibu merupakan orang yang pertama dikenal anak. Maka dari itu ibu harus menanamkan kepada anak, agar mereka dapat mencintai ilmu, membaca lebih banyak, lebih dinamis, disiplin, dan ibu memberikan motivasi yang sehat dan menjadi teladan bagi anak mereka.
Pengaruh ayah terhadap anak juga sangat besar, di mata anak ayah seorang yang terpandai di antara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah melakukan pekerjaan sehari-hari berpengaruh kepada cara kerja anaknya. Dengan demikian tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah suatu keniscayaan, apakah tanggung jawab pendidikan itu diakui secara sadar atau tidak diterima sepenuh hati atau tidak hal ini tidak dapat dihindari karena merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah Swt kepada setiap orang tua.
Peranan orang tua selaku pendidik dalam keluarga adalah pangkal ketentraman dan kedamaian hidup, bahkan dalam perspektif Islam keluarga bukan hanya sebagai persekutuan hidup terkecil saja, melainkan sampai pada lingkungan yang lebih besar dalam arti masyarakat secara luas, yang darinya memberi peluang untuk hidup bahagia atau celaka.
Tanggung jawab yang perlu disadarkan dan dibina oleh kedua orang tua kepada anak adalah sebagai berikut:
Memelihara dan membesarkannya.
Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai gangguan, penyakit, atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya.
Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi hidupnya.
Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberikan pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Allah Swt sebagai tujuan akhir hidup muslim.
Dengan demikian, orang tua sebagai pendidik utama pertama dan terakhir pada hakikatnya memiliki tanggung jawab yang komprehensip dan sangat kompleks, menyangkut semua aspek kehidupan baik pendidikan jasmani maupun pendidikan rohani dan tanggung jawab tersebut dimanifestasikan melalui pendidikan aqidah, ibadah, akhlak, intelektual, dan kematangan psikis.
Seorang anak apabila telah memasuki usia sekolah menjadi tugas dan tangung jawab orang tua untuk menyerahkan anaknya kepada sekolah. Faktor lain yang menjadi tanggung jawab orang tua adalah menyediakan alat-alat perlengkapan belajar anak di rumah, memperhatikan lingkungan pergaulan, memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaiakan dan mengungkapkan masalahnya.
Dalam hal ini M. Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah maupun di masyarakat.
Pandangan tersebut di atas menunjukkan betapa perlunya orang tua senantiasa memperhatikan perkembangan dan kemajuan pendidikan anak-anaknya, sebab perhatian dan bimbingan yang cukup dari orang tua sangat menunjang bagi keberhasilan pendidikan anak.
Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya mempunyai dasar yang kuat. Salah satu wujud nyata dari tanggung jawab yang dimaksud adalah memperhatikan kebutuhan dalam pendidikan anak-anak mereka, menyediakan sarana dan fasilitas belajar yang dibutuhkan anak. Semua dilakukan atas dasar kerjasama kedua orang tua (ayah dan ibu).


Setiap orang tua pasti akan selalu memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya tidak pandang apa yang harus di lakukan orang tua kita pasti akan berusaha memeberikannya kepada si anak. Contohnya setiap orang tua akan bekerja keras demi mendapatkan uang untuk menyekolahkan anaknya. Orang tua tidak ingin anaknya tidak memiliki pendidikan dan kehidupan di masa depannya tidak terjamin karna tidak memiliki latar belakang yang jelas. Sebagai anak kita harusnya tau bahwa orang tua kita menyekolahkan kita setinggi tinggi mungkin untuk mendapatkan ilmu dan agar menjadi orang yang bermanfaat di masa depan nanti. Namun terkadang anak-anak sangat menyepelekan perjuangan orang tua untuk menyekolahkan mereka.

Setiap anak juga pasti ingin merasakan bersekolah, mendapatkan teman banyak, dan juga memperoleh ilmu yang bermanfaat. Namun kebanyakan anak hanya ingin bermain dan tidak menganggap penting bahwa pendidikan itu baik untuk masa depan mereka. Mereka juga tidak menyadari bahwa menjadi anak itu juga banyak tanggung jawabnya, maksudnya bukan harus mendapatkan penghasilan dan membiayai isi keluarga, tetapi anak di sekolahkan oleh orang tuanya itu ada adalah sebuah tanggung jawab. Si anak harus memperlihatkan bahwa si orang tua tidak salah mencari uang mati-matian demi menyekolahkan anaknya. Si anak harus membayar tanggung jawab tersebut dengan menjad anak yang baik dan memperlihatkan banyak prestasi di dalam sekolahnya. Maka dari itu pun pasti setiap orang tua akan senang dan bangga juga merasakan tidak salah menyekolahkan anaknya.

Dan berdasarkan kenyataan yang ada, pendidikan tanggung jawab ini memang dapat dilakukan bahkan ketika anak masih dalam usia kanak-kanak. Tentu saja ukuran kemampuannya berbeda-beda. Tetapi pendidikan ini dapat dimulai dari hal-hal yang kecil seperti membereskan mainannya atau menaruh piring di tempatnya bahkan hal yang besar yang berkaitan dengan tanggung jawab yang akan ditanggungnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala (jika itu dilakukan ketika telah baligh).
Seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hasan bin Ali dalam sebuah hadits: “Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kih! Kih! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat?’” (HR. Bukhari dan Muslim)

SUMBER : http://alike.wordpress.com/2008/08/22/tanggung-jawab-dalam-pendidikan/